Bab 1 mengenai Ketentuan Umum, pasal 1
- Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama -sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
- Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
- Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
- Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya, dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya
- Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
Ketentuan
Umum
Pada
dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta
dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak
sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku
tertentu yang terbatas.
Hak
cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”.
Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film,
karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman
suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio
dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri. Hak cipta
merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda
secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang
memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan
merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah
orang lain yang melakukannya.
Di
Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang
berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang
tersebut, pengertian hak cipta adalah “hak eksklusif bagi pencipta atau
penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 butir 1).
Lingkup Hak cipta
Lingkup hak cipta diatur didalam bab 2 mengenai LINGKUP HAK CIPTA pasal
2-28 :
·
Ciptaan yang dilindungi (pasal 12), Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: buku, Program
Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua
hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis
dengan itu, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama atau drama musikal,
tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim, seni rupa dalam segala bentuk
seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung,
kolase, dan seni terapan, arsitektur, peta, seni batik, fotografi,
sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya
lain dari hasil pengalihwujudan.
·
Ciptaan yang tidak ada Hak Cipta (pasal 13), hasil rapat terbuka
lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau
pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim atau
keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Hak-hak
yang tercakup dalam hak cipta
Hak
eksklusif
Beberapa
hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk
:
- Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
- Mengimpor dan mengekspor ciptaan,
- Menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
- Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
- Menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang
dimaksud dengan “hak eksklusif” dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak
ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak
lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak
cipta.
Di
Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan,
mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan,
meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan,
merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun”.
Selain
itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula “hak terkait”, yang
berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh
pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser
rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil
dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka
masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh,
seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara
nyanyiannya.
Hak-hak
eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya
dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik
hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut
dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
Perlindungan
Hak Cipta
Perlindungan
hak cipta pada umumnya berarti bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil karya
tertentu hanya dapat dilakukan dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Yang
dimaksud menggunakan atau memakai di sini adalah mengumumkan, memperbanyak
ciptaan atau memberikan ijin untuk itu.
Pasal 12
ayat 1 :
(1)Dalam
Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup :
a. buku,
program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan,
dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain
yang sejenis
dengan itu ;
dengan itu ;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan
ilmu pengetahuan;
ilmu pengetahuan;
d. lagu
atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi,
pewayangan
dan pantomim;
dan pantomim;
f. seni
rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi,
seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g.
arsitektur;
h.
peta;
i.
seni batik;
j.
fotografi;
k.
sinematografi;
l. terjemahn,
tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan
tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.”
Menurut Pasal
1 ayat 8 :
Program
komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode,
skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat
dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan
fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk penyiapan
dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.
Dan Pasal 2
ayat 2:
Pencipta dan
/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program computer
(software) memberikan izin atau melarng orang lain yang tanpa persetujuannya
menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Pembatasan
Hak Cipta
Pembatasan Hak cipta, Pembatasan
mengenai hak cipta diatur dalam pasal 14, 15, 16 (ayat 1-6), 17, dan 18. Pemakaian ciptaan tidak dianggap
sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan
jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial
termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan
ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam
hal ini adalah “kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat
ekonomi atas suatu ciptaan”. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan
ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus
untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang
dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan
sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit
jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program
komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya,
untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Selain
itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia untuk
memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta
demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun
melarang penyebaran ciptaan “yang apabila diumumkan dapat merendahkan
nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat
menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara,
bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan
ketertiban umum” (pasal 17). Ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka
orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang dilakukan. Menurut
UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka
lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau
pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, ataupun
keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya (misalnya
keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Pasal 14
Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang
Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak
cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya
maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau
sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara
lengkap.
Prosedur
Pendaftaran HaKI
Sesuai yang diatur pada bab IV
Undang-undang Hak Cipta pasal 35, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di
bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]. Pencipta atau pemilik hak
cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI.
Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2).
Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di
kantor maupun situs webDitjen HKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang
mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dandapat dilihat
oleh setiap orang tanpa dikenai biaya. Prosedur mengenai pendaftaran HAKI diatur dalam bab 4, pasal 35-44.
*************************************************************************
UU
No.36 tentang Telekomunikasi
Azas
dan Tujuan Telekomunikasi
Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat,
adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan
pada diri sendiri. Dalam menyelenggarakan telekomunikasi memperhatikan
dengan sungguh-sungguh asas pembangunan nasional dengan mengutamakan asas
manfaat, asas adil, dan merata, asas kepastian hukum, dan asas kepercayaan pada
diri sendiri, serta memprhatikan pula asas keamanan, kemitraan, dan etika. Asas
manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan
telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna baik sebagai
infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana
pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat
lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin. Asas adil dan
merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan kesempatan dan
perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil- hasilnya
dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan
telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada
peraturan perundang-undangan yang menjami kepastian hukum dan memberikan
perlindungan hukum baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi,
maupun kepada pengguna telekomunikasi.
Asas kepercayaan pada diri
sendiri,
dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional
secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi, sehingga dapat
meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa
dalam menghadapi persaingan global.
Asas kemitraan mengandung makna bahwa
penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis,
timbal balik, dan sinergi, dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Asas keamanan
dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi selalu memperhatikan faktor
keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengoperasiannya. Asas etika
dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh
semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.
Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan
untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan
kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa. Tujuan
penyelenggaraan telekomunikasi yang demikian dapat dicapai, antara lain,
melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan
telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor
telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan
regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi
pengusaha kecil dan menengah.
Didalam UU
no.36 th.1999 terdapat pasal yang menyebutkan tentang azas dan tujuan yaitu
terdapat pada
Pasal 2:
“Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri”
Pasal 3:
“Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,
mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan
hubungan antarbangsa.”
Penyelenggaraan
Telekomunikasi
Dalam
rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi
terkait, penyelenggara telekomunikasi, dan mengikutsertakan peran masyarakat.
Dalam posisi yang demikian, pelaksanaan pembinaan telekomunikasi yang dilakukan
Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat, berupa penyampaian pemikiran dan
pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan
pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian
dan pengawasan di bidang telekomunikasi. Pelaksanaan peran serta masyarakat
diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
Lembaga seperti ini keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di
bidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen
peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi
serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi. Ketentuan mengenai tata
cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga masih akan diatur dengan
Peraturan
Pemerintah.
Setelah mengetahui pasal yang menyebutkan
azas dan tujuan di UU no.36 th.1999 disebutkan juga tentang penyelenggaraan
telekomunikasi yaitu:Pasal 7:
Ayat1: “Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraaan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.”
Dari pasal 7 juga disebutkan dalam ayat 2:”hal-hal yang diperhatikan dalam penyelenggaraan telekomunikasi sebagai berikut :
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.”
Jadi dalam penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku yang dijelaskan pada pasal 8 ayat 1 dan 2:
Ayat 1: “Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yaitu :
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi;”
Ayat 2:
“Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat
(1) huruf c, dapat dilakukan oleh :
a. perseorangan;
b. instansi
pemerintah ;
c. badan
hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi;”
Penyidikan,
Sanksi Administratif dan Ketentuan Pidana
Ada
dua belas ketentuan dalam undang-undang ini yang dapat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin,
yang dilakukan setelah diberi peringatan tertulis. Pengenaan sanksi
adminsitrasi dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam
rangka pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi. Keduabelas
alasan yang dapat dikenai sanksi administratif itu adalah terhadap:
- Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak memberikan kontribusi dalam pelayanan;
- Penyelenggara telekomunikasi tidak memberikan catatan atau rekaman yang diperlukan pengguna;
- Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunkasi;
- Penyelenggara telekomunikasi yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum;
- Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya;
- Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosesntase pendapatan;
- Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri dan keperluan pertahanan keamanan negara yang menyambungkan telekomunikasinya ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya;
- Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran yang menyambungkan telekomunikasinya ke penyelenggara telekomunikasi lainnya tetapi tidak digunakan untuk keperluan penyiaran;
- Pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak mendapat izin dari Pemerintah;
- Pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan yang saling menggaggu.
- Pengguna spektrum frekuensi radio yang tidak membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi;
Pengguna
orbit satelit yang tidak membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
Dalam UU
no.36 th.1999 juga terdapat pasal yang menyangkut tentang penyidikan yaitu
terdapat pada pasal 44 ayat 1 dan ayat 2.
Ayat 1:” Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.”
Ayat 2:” Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a.
melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang telekomunikasi;
b.
melakukan
pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang telekomuniksi.
c.
menghentikan
penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari
ketentuan yang berlaku;
d.
memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e.
melakukan
pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau
diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f.
menggeledah
tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
g.
menyegel dan
atau menyita alat dan atau perangkat telekomuniksi yang digunakan atau diduga
berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h.
meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi; dan
i.
mengadakan
penghentian penyidikan.”
Selain
Undang-undang Hukum acara pidana di UU no.36 th.1999 juga disebutkan pasal yang
mengenai sanksi-sanksinya yaitu pasal 45 dan pasal 46. Untuk ketentuan Pidana
disebutkan pada pasal 47 sampai pasal 59.
Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Rangkuman singkat dari UU ITE adalah sebagai berikut:
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Rangkuman singkat dari UU ITE adalah sebagai berikut:
1.
Tanda tangan
elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional
(tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines
(pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
2.
Alat bukti
elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
3.
UU ITE
berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di
wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di
Indonesia.
4.
Pengaturan
Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
5.
Perbuatan
yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
• Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
• Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
• Pasal 28
(Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
• Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan
Teror)
• Pasal 30 (Akses Komputer Pihak
Lain Tanpa Izin, Cracking)
• Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan,
Penghilangan Informasi)
• Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan
dan Membuka Informasi Rahasia)
• Pasal 33 (Virus, DoS)
• Pasal 35 (Pemalsuan Dokumen
Otentik / phishing)
*****************************************************************************
RUU tentang informasi dan
transaksi elektronik (ITE) peraturan lain yg terkait (peraturan bank indonesia
ttg internet banking )
Internet
banking bukan merupakan istilah yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia
khususnya bagi yang tinggal di wilayah perkotaan. Hal tersebut dikarenakan
semakin banyaknya perbankan nasional yang menyelenggarakan layanan tersebut.
Penyelenggaraan
internet banking yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi,
dalam kenyataannya pada satu sisi membuat jalannya transaksi perbankan menjadi
lebih mudah, akan tetapi di sisi lain membuatnya semakin berisiko. Dengan
kenyataan seperti ini, keamanan menjadi faktor yang paling perlu diperhatikan.
Bahkan mungkin faktor keamanan ini dapat menjadi salah satu fitur unggulan yang
dapat ditonjolkan oleh pihak bank.
Salah satu
risiko yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah
internet fraud atau penipuan melalui internet. Dalam internet fraud ini
menjadikan pihak bank atau nasabah sebagai korban, yang dapat terjadi karena
maksud jahat seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang teknologi
informasi, atau seseorang yang memanfaatkan kelengahan pihak bank maupun pihak
nasabah.
Oleh karena
itu perbankan perlu meningkatkan keamanan internet banking antara lain melalui
standarisasi pembuatan aplikasi internet banking, adanya panduan bila terjadi
fraud dalam internet banking dan pemberian informasi yang jelas kepada user.
Peranan Bank
Indonesia dalam Pencegahan Internet Fraud
Salah satu
tugas pokok Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004
adalah mengatur dan mengawasi bank. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut
Bank Indonesia diberikan kewenangan sbb:
- Menetapkan peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip-prinsip kehati-hatian.
- Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.
- Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung.
- Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pelaksanaan
kewenangan tugas-tugas tersebut di atas ditetapkan secara lebih rinci dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Terkait
dengan tugas Bank Indonesia mengatur dan mengawasi bank, salah satu upaya untuk
meminimalisasi internet fraud yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah melalui
pendekatan aspek regulasi. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah
mengeluarkan serangkaian Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank
Indonesia yang harus dipatuhi oleh dunia perbankan antara lain mengenai
penerapan manajemen risiko dalam penyelenggaraan kegiatan internet banking dan
penerapan prinsip Know Your Customer (KYC).
1. Manajemen
risiko dalam penyelenggaraan kegiatan internet banking
Peraturan
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan pengelolaan atau manajemen
risiko penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah Peraturan Bank
Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet
(Internet Banking). Pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a. Bank yang
menyelenggarakan kegiatan internet banking wajib menerapkan manajemen risiko
pada aktivitas internet banking secara efektif.
b. Penerapan
manajemen risiko tersebut wajib dituangkan dalam suatu kebijakan, prosedur dan
pedoman tertulis dengan mengacu pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada
Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking), yang
ditetapkan dalam lampiran dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut.
c.
Pokok-pokok penerapan manajemen risiko bagi bank yang menyelenggarakan kegiatan
internet banking adalah:
2. Adanya
pengawasan aktif komisaris dan direksi bank, yang meliputi:
a) Komisaris
dan direksi harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap risiko yang
terkait dengan aktivitas internet banking, termasuk penetapan akuntabilitas,
kebijakan dan proses pengendalian untuk mengelola risiko tersebut.
b) Direksi
harus menyetujui dan melakukan kaji ulang terhadap aspek utama dari prosedur
pengendalian pengamanan bank.
3.
Pengendalian pengamanan (security control)
a) Bank
harus melakukan langkah-langkah yang memadai untuk menguji keaslian
(otentikasi) identitas dan otorisasi terhadap nasabah yang melakukan transaksi
melalui internet banking.
b) Bank
harus menggunakan metode pengujian keaslian transaksi untuk menjamin bahwa
transaksi tidak dapat diingkari oleh nasabah (non repudiation) dan menetapkan
tanggung jawab dalam transaksi internet banking.
c) Bank
harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem internet banking, database
dan aplikasi lainnya.
d) Bank
harus memastikan adanya pengendalian terhadap otorisasi dan hak akses
(privileges) yang tepat terhadap sistem internet banking, database dan aplikasi
lainnya.
e) Bank
harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai untuk melindungi integritas
data, catatan/arsip dan informasi pada transaksi internet banking.
f) Bank
harus memastikan tersedianya mekanisme penelusuran (audit trail) yang jelas
untuk seluruh transaksi internet banking.
g) Bank
harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan informasi penting
pada internet banking. Langkah tersebut harus sesuai dengan sensitivitas
informasi yang dikeluarkan dan/atau disimpan dalam database.
4. Manajemen
Risiko Hukum dan Risiko Reputasi
a) Bank
harus memastikan bahwa website bank menyediakan informasi yang memungkinkan
calon nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat mengenai identitas dan
status hukum bank sebelum melakukan transaksi melalui internet banking.
b) Bank
harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa ketentuan kerahasiaan
nasabah diterapkan sesuai dengan yang berlaku di negara tempat kedudukan bank
menyediakan produk dan jasa internet banking.
c) Bank
harus memiliki prosedur perencanaan darurat dan berkesinambungan usaha yang
efektif untuk memastikan tersedianya sistem dan jasa internet banking.
d) Bank
harus mengembangkan rencana penanganan yang memadai untuk mengelola, mengatasi
dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan
(internal dan eksternal) yang dapat menghambat penyediaan sistem dan jasa
internet banking.
e) Dalam hal
sistem penyelenggaraan internet banking dilakukan oleh pihak ketiga
(outsourcing), bank harus menetapkan dan menerapkan prosedur pengawasan dan due
dilligence yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk mengelola hubungan bank
dengan pihak ketiga tersebut.
5. Penerapan
prinsip Know Your Customer (KYC)
Upaya
lainnya yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meminimalisir
terjadinya tindak kejahatan internet fraud adalah pengaturan kewajiban bagi
bank untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah atau yang lebih dikenal dengan
prinsip Know Your Customer (KYC). Pengaturan tentang penerapan prinsip KYC
terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 dan Surat Edaran Bank
Indonesia 6/37/DPNP tanggal 10 September 2004 tentang Penilaian dan Pengenaan
Sanksi atas Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan Kewajiban Lain Terkait
dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pokok-pokok
pengaturannya antara lain sbb:
a. Prinsip
Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas
nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang
mencurigakan.
b. Dalam
menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah, bank wajib:
1)
Menetapkan kebijakan penerimaan nasabah.
2)
Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah.
3)
Menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi
nasabah.
4)
Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
c. Terkait
dengan kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah, maka:
1) Sebelum
melakukan hubungan usaha dengan nasabah, bank wajib meminta informasi mengenai
identitas calon nasabah, maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan
calon nasabah dengan bank, informasi lain yang memungkinkan bank untuk dapat
mengetahui profil calon nasabah dan identitas pihak lain dalam hal calon
nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain. Identitas calon nasabah
tersebut harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen pendukung dan bank wajib
meneliti kebenaran dokumen-dokumen pendukung tersebut.
2) Bagi bank
yang telah menggunakan media elektronis dalam pelayanan jasa perbankan wajib
melakukan pertemuan dengan calon nasabah sekurang-kurangnya pada saat pembukaan
rekening.
d. Dalam hal
calon nasabah bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain (beneficial
owner) untuk membuka rekening, bank wajib memperoleh dokumen-dokumen pendukung
identitas dan hubungan hukum, penugasan serta kewenangan bertindak sebagai
perantara dan atau kuasa pihak lain. Dalam hal bank meragukan atau tidak dapat
meyakini identitas beneficial owner, bank wajib menolak untuk melakukan
hubungan usaha dengan calon nasabah.e. Bank wajib menatausahakan
dokumen-dokumen pendukung nasabah dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun sejak nasabah menutup rekening pada bank. Bank juga wajib
melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan terhadap dokumen-dokumen
pendukung tersebut.
f. Bank
wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa,
memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik
transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank.
g. Bank
wajib memelihara profil nasabah yang sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai
pekerjaan atau bidang usaha, jumlah penghasilan, rekening lain yang dimiliki,
aktivasi transaksi normal dan tujuan pembukaan rekening.
h. Bank
wajib memiliki kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang sekurang-kurangnya
mencakup:
1)
Pengawasan oleh pengurus bank (management oversight).
2)
Pendelegasian wewenang.
3) Pemisahan
tugas.
4) Sistem
pengawasan intern termasuk audit intern.
5) Program
pelatihan karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
i. Bank
Indonesia melakukan penilaian terhadap pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah/KYC
dan Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dimana penilaian
tersebut dilakukan secara kualitatif atas faktor-faktor manajemen risiko
penerapan KYC.
6. Kegiatan
Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Transparansi Produk Bank
Regulasi
lainnya yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan upaya meminimalisir
internet fraud adalah regulasi mengenai penyelenggaraan kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), mengingat APMK merupakan alat atau
media yang sering digunakan dalam kejahatan internet fraud. Ketentuan mengenai
penyelenggaraan APMK terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/30/PBI/2004
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP, tanggal 30 Desember 2005 tentang
Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan
Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Adapun
pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a). Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) adalah alat pembayaran yang berupa
kartu kredit, kartu ATM, kartu debet, kartu prabayar dan atau yang dipersamakan
dengan hal tersebut.
b). Bagi
bank dan lembaga bukan bank yang merupakan penyelenggara APMK harus menyerahkan
bukti penerapan manajemen risiko.
c). Penerbit
APMK wajib meningkatkan keamanan APMK untuk meminimalkan tingkat kejahatan
terkait dengan APMK dan sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap APMK.
d). Peningkatan
keamanan tersebut dilakukan terhadap seluruh infrastruktur teknologi yang
terkait dengan penyelenggaraan APMK, yang meliputi pengamanan pada kartu dan
pengamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk memproses transaksi APMK
termasuk penggunaan chip pada kartu kredit. Selain itu, Bank Indonesia juga
mengeluarkan regulasi mengenai transparansi informasi produk bank dan
penggunaan data pribadi nasabah, sebagai upaya untuk mengedukasi nasabah
terhadap produk bank dan meningkatkan kewaspadaan nasabah terhadap berbagai
risiko termasuk internet fraud. Ketentuan tersebut terdapat dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 Jo SE No. 7/25/DPNP tentang Transparansi
Informasi Produk Bank Dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Pokok-pokok
pengaturan dalam ketentuan tersebut antara lain sbb:
a). Bank
wajib menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunan Data
Pribadi Nasabah.
b). Bank
dilarang memberikan informasi yang menyesatkan (mislead) dan atau tidak etis
(misconduct).
c).
Informasi Produk Bank tersebut, minimal meliputi: nama produk, jenis produk,
manfaat dan resiko produk, persyaratan dan tatacara penggunaan produk,
biaya-biaya yang melekat pada produk, perhitungan bunga atau bagi hasil dan
margin keuntungan, jangka waktu berlakunya Produk Bank, penerbitan
(issuer/originator) Produk Bank.
d). Bank
wajib memberikan informasi kepada nasabah mengenai manfaat dan risiko pada
setiap produk bank, dimana bank harus menjelaskan secara terinci setiap manfaat
yang diperoleh nasabah dari suatu produk bank dan potensi risiko yang dihadapi
oleh nasabah dalam masa penggunaan produk bank.
Rahasia Bank
Salah satu
hal penting dalam memproses pelaku internet fraud adalah pembukaan rahasia bank
untuk memperoleh keterangan simpanan milik pelaku internet fraud tersebut,
dimana keterangan tersebut dapat dijadikan salah bukti oleh aparat penegak
hukum untuk keperluan persidangan pidana.
Ketentuan
mengenai rahasia bank diatur dalam UU Perbankan dan kemudian diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada prinsipnya setiap Bank dan afiliasinya
wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya
(Rahasia Bank). Sedangkan keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah
penyimpan, tidak wajib dirahasiakan.
Terhadap
Rahasia Bank dapat disimpangi dengan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank
Indonesia untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank oleh
BUPN/PUPLN dan kepentingan peradilan perkara pidana dimana status nasabah
penyimpan yang akan dibuka rahasia bank harus tersangka atau terdakwa. Terhadap
Rahasia Bank dapat juga disimpangi tanpa izin terlebih dahulu dari pimpinan
Bank Indonesia yakni untuk kepentingan perkara perdata antara bank dengan
nasabahnya, tukar menukar informasi antar bank, atas permintaan/persetujuan
dari nasabah dan untuk kepentingan ahli waris yang sah.
Dalam hal
diperlukan pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama seorang nasabah
penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh pihak
aparat penegak hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) PBI Rahasia Bank,
dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
Namun
demikian untuk memperoleh keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan
nasabah yang diblokir dan atau disita pada bank, menurut Pasal 12 ayat (2) PBI
Rahasia Bank, tetap berlaku ketentuan mengenai pembukaan Rahasia Bank dimana
memerlukan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
Urgensi
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan
Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana)
Payung hukum
setingkat undang-undang yang khusus mengatur tentang kegiatan di dunia maya
hingga saat ini belum ada di Indonesia. Dalam hal terjadi tindak pidana
kejahatan di dunia maya, untuk penegakan hukumnya masih menggunakan
ketentuan-ketentuan yang ada di KUHP yakni mengenai pemalsuan surat (Pasal
263), pencurian (Pasal 362), penggelapan (Pasal 372), penipuan (Pasal 378),
penadahan (Pasal 480), serta ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang tentang Merek.
Ketentuan-ketentuan
tersebut tentu saja belum bisa mengakomodir kejahatan-kejahatan di dunia maya
(cybercrime) yang modus operandinya terus berkembang. Selain itu dalam
penanganan kasusnya seringkali menghadapi kendala antara lain dalam hal pembuktian
dengan menggunakan alat bukti elektronik dan ancaman sanksi yang terdapat dalam
KUHP tidak sebanding dengan kerugian yang diderita oleh korban, misalnya pada
kasus internet fraud, salah satu pasal yang dapat digunakan adalah Pasal 378
KUHP (penipuan) yang ancaman hukumannya maksimum 4 (empat) tahun penjara
sedangkan kerugian yang mungkin diderita dapat mencapai miliaran rupiah.
Terkait
dengan hal-hal tersebut di atas, kehadiran Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU
Transfer Dana) diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya mencegah dan
memberantas cybercrimes serta dapat memberikan deterrent effect kepada para
pelaku cybercrimes sehingga akan berfikir jauh untuk melakukan aksinya. Selain
itu hal yang penting lainnya adalah pemahaman yang sama dalam memandang
cybercrimes dari aparat penegak hukum termasuk di dalamnya law enforcement.
Adapun
Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE dan RUU Transfer Dana saat ini telah diajukan
oleh pemerintah dan sedang dilakukan pembahasan di DPR RI, dimana dalam hal ini
Bank Indonesia terlibat sebagai narasumber khususnya untuk materi yang terkait
dengan informasi dan transaksi keuangan.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar